Rabu, 04 September 2019

MANUSIA ZOMBIE

“Kebencian adalah bagian dari hakikat, Keindahan hanya Imajinasi semata”- Charles Bukowsky

    Sepertinya kita akan sulit memahami pernyataan Charles Bukowsky. Tapi sebelumknya, lebih baik menempatkannya sebagai pernyataan satire. Lebih tepatnya sebagai pernyataan ironi atas refleksi suatu potret kehidupan. Kita akan mudah memahami jika keindahan sebagai hakikat dan kebencian sebagai imajinasi. Namun itu “idealnya”, seharusnya dan semestinya. Sebab fitrah manusia memang demikian, vcinta pada keindahan, keadilan, dan kebenaran. Tapi satu sisi kita mesti menyadari bahwa kita hidup di dunia. Kenyataan terkadang memberikan jawaban sebaliknya. lalu bagaimana menggambarkan kebencian sebagai bagian dari hakikat ? saya ingin mengajak dan melihat dunia sekitar kita yang sangat sulit “menerima” yang lain. Kita sulit menerima jika orang lain berbeda dengan diri kita, kita akan lebih senang jika orang lan seperti diri kita. Mengikuti cara kita memandang dan memaknai kehidupan ini. Mengapa ? karena kita selalu saja berpikir telah menemui mata air kebenaran. Kita telah mereguknya dan merasakan kebahagiaan mata air tersebut. Begitu bahagianya sehingga menganggap nereka yang tak merasakan mata air kebenaran yang kita reguk sebagai orang-orang yang tersesat dalam menjalani kehidupan ini. Dan hingga akhirnya serta secara perlahan –lahan menganggap cara pandang kita sebagai satu-satunya neraca kebenaran. Kita adalah kebenaran dan selain kita adalah kesesatan.

    Pada saat itulah, kita akan heran melihat orang lain. Heran mengapa mereka memililih jalan yang tak sesuai dengan cara pandang kita. Bahkan boleh jadi kita jijik saat melihat mereka melakukan ritual yang berbeda dengan ritual kita. Dan akhirnya kita tak mau lagi melihat mereka. Kita lebih asyik bersama dengan kelompok kita sendiri. Kita akan menutup pintu rumah kita rapat-rapat agar tak lagi terlihat ritual yang mereka lakukan. Saat kita membuka pintu itu kembali, perasaan kita kepada orang lain bukan hanya jijik, tapi kita mulai membenci mereka. Kita memilih memutuskan silaturrahim. Memutuskan pertemanan kita di FB. Meng-unfollow mereka di twitter dan instagram. Memblock Whatsapp mereka.

   Sekarang pertanyaannya, ada berapakah cara pandang orang di dunia ini? Mungkin kita akan menjawabnya, jumlahnya sebanding dengan aliran pemikiran yang ada di dunia ini. Namun jika ingin menjawabnya secara lebih detail, sebenarnya jumlahnya sebandingan dengan jumlah manusia. Sebab meskipun kita berada dalam satu aliran tapi kita punya penafsiran dan pemahaman sendiri. Nah sekarang bayangkan jika setiap orang melakukan hal yang sama, menganggap pandangannya sebagai satu-satunya neraca kebenaran dan membenci pandangan orang lain yang berbeda dengan kita. Tentu kita akan mulai saling memangsa. Benar kata Hobbes, saat itu manusia adalah serigala.

    Mungkin kita terlalu lama asyik dengan rumah kita sendiri. Tak punya kesempatan mendengarkan dan memahami orang lain. Tak mau tahu mengapa orang lain memiliki cara pandang yang berbeda dengan kita. Kita lupa bahwa setiap orang berproses menjadi diri mereka sendiri. Mereka juga punya nalar sendiri sebagaimana kita menggunakan nalar kita sendiri. Orang lain juga membangun neraca kehidupannya sendiri sebagaimana kita membangun neraca kehidupan kita sendiri.

  Sebab itu jangan sampai kita berubah menjadi Zombie. Manusia tanpa nalar yang hanya siap memangsa karena keinginannya hanya memangsa. Manusia Zombie adalah manusia yang berjalan dengan tanpa kesadaran dengan langkah yang tertatih-tatih dengan mulut penuh darah akibat memangsa. Karena jika kita berubah menjadi manusia Zombie akan menegaskan apa yang dikatakan oleh Charles Bukowsky, “kebencian adalah hakikat sedangkan keindahan hanya imajinasi”.

Senin, 02 September 2019

DIALEKTIKA CINTA

(Sintesis Dalam Kontradiksi Cinta)

         Bicara soal dielektika tentu tidak lepas dari Hegel, dialektika selalu diasosiasikan dengan Hegel. Dimana dalam teorinya, dinyatakan, bahwa dunia terus bergerak secara dialektis menuju kesempurnaan. Yakni bergerak dari: Tesis, Anti Tesis, dan Sintesis. Maksudnya apa yang tampak pada diri kita saat ini dan kondisi apa pun yang kita alami saat ini bukanlah sesuatu yang selesai, melainkan terus mengalami dinamika dan bergerak menuju kehidupan yang lebih baik, yakni kesempurnaan. Teori ini (baca: Dialektika Hegel), terlepas dari segala kerancuanya, memberikan kita optimisme dalam memandang dunia, utamanya masa depan. Karena intensitas interaksi dialektis kita dengan Alam, baik interaksi dengan sesama manusia, hewan dan tumbuhan kesemuanya adalah modalitas untuk sampai pada kesempurnaan. Tapi kesempurnaan itu tidaklah dengan serta merta bisa dicapai tanpa melalui benturan-benturan/kontradiksi-kontradiksi/konflik-konflik internal dalam kehidupan kita, atau kalau kita gunakan bahasa teologi, "tidaklah beriman seseorang kecuali akan diuji dengan berbagai macam ujian dan cobaan". Jadi cobaan itu adalah awal menuju keimanan (dalam makna teologi), atau konflik internal dalam relasi kemanusiaan adalah syarat gerak sejarah menuju kesempurnaan (dalam makna filosofis). 

       Jadi gerak dialektis, yakni benturan-benturan yang kita alami dalam perjalanan kehidupan kita, janganlah dilihat sebagai keberakhiran apalagi membuat kita jadi pesimis, karena benturan-benturan itulah yang akan mengantarkan seluruh potensialitas kemanusiaan kita sampai pada kesempurnaan atau kebenaran hakiki. Oleh karena itu, dalam gerak dialektis ini, penting kiranya bagi manusia menggunakan seluruh daya rasionalitasnya untuk membaca kehendak sejarah universal (Roh Absolut). Dalam artian, manusia dengan segenap refleksi rasionalnya mampu menyesuaikan kehendak-kehendak subjektif dirinya dengan kehendak absolut manusia. Yakni individu (tesis), dengan kehendak-kehendak subjektif manusia-manusia (anti tesis), harus diterjemahkan dan ditransformasikan ke dalam kehendak bersama/Umum/Absolut (Sintesis). 

        Demikian dalam membangun relasi cinta, juga tidak lepas dari kontradiksi dua jiwa yang hendak menyatu. Tentu dua insan yang berbeda (pria dan wanita), masing-masing membawa ide-ide atau kehendak-kehendak cinta yang saling berlawanan dan bertentangan, namun di atas semua itu tentu ada kehendak bersama (umum) yang ingin dicapai, yakni membawa relasi dialektis cinta itu pada tujuan hakiki, yakni KEBAHAGIAAN. Lalu pertanyaannya, bagaimana caranya sampai pada tujuan hakiki cinta dalam makna dialektis? Yah, tentu dengan melepas segala ego (tesis), dan mencoba menegosiasikan segala kehendak cinta masing-masing (anti tesis), untuk menemukan kehendak cinta yang diinginkan secara bersama-sama (Sintesis). Pada tahapan inilah perjuangan cinta dibutuhkan untuk mencapai sintesis CINTA. 

    Oleh karena kontradiksi-kotradiksi atau konflik-konflik cinta adalah sebuah realitas yang senantiasa mengada dalam kehidupan para pecinta, misalnya: penolakan-penolakan dalam kehendak cinta, termasuk konflik-konflik cinta dengan pasangan, janganlah dilihat sebagai kondisi yang statis apalagi memberikan respon negatif, karena itu adalah kontradiksi cinta yang dinamis yang hendak menyempurna oleh dorongan energi Roh Absolut. Tentu dalam makna dialektis. 

    Maka, jangan berhenti berjuang mendapatkan cinta anda, dan jangan berhenti memperbaiki hubungan cinta anda. Cukup siapkan dan pantaskan diri anda sebagai prasyarat dialektis bagi Roh Absolut untuk mengamini dan mewujudkan kehendak cinta anda. Dengan begitu Roh Absolut akan mengantarkan anda pada masa depan cinta, yakni cinta yang membahagiakan penduduk bumi dan diberkahi penduduk langit. Itulah masa depan cinta dan spiritualitas cinta. 

Terbentur-Terbentur-Terbentur-Terbentuk!

Minggu, 04 Agustus 2019

Menaikkan Harga Rokok ?

Beberapa bulan terakhir kalo tidak salah pada bulan Maret ada isu soal menaikkan harga cukai rokok untuk mengurangi jumlah perokok. well, saya juga sering mendengar teman-teman saya menggunakan logika ekonomi seperti itu. Apakah salah ? tidak juga.

Logika ekonomi seperti tadi tidak ada salahnya juga, kalo mau mengurangi permintaan terhadap rokok, maka naikkan harga setinggi-tingginya.  Dalam konsep ekonomi mikro saran ini mengikuti benar hukum permintaan : jika harga naik, jumlah barang yang diminta/dibeli akan berkurang, ceteres paribus. Tapi, sayangnya hukum permintaan ini hanya berlaku untuk barang normal/biasa dan tidak berlaku untuk barang bukan normal, seperti rokok. Rokok bukan barang normal, karena kebiasaan merokok menyebabkan ketagihan (addict). Bagi orang yang ketagihan merokok, harga rokok tidak lagi menjadi faktor penentu jumlah rokok yang dihisap setiap harinya. Menaikkan harga rokok (lewat cukai yang lebih tinggi) tidak akan mempengruhi perokok yang addict, namun bagi perokok baru atau yang belum addict masih mungkin berdampak: mengurangi jumlah rokok yang dihisap setiap harinya atau berganti rokok yang lebih murah. Dari sisi lain, rokok ilegal justru akan mendapat tambahan pasar baru. Padahal pada rokok ilegal, kandungan tar dan nikotin lepas dari pengawasamn pemerintah.
Dampak kenaikkan harga rokok pada perokok addict bervariasi terhadap pendapatan perokoknya. Untuk perokok addict dari keluarga kaya, kenaikkan harga rokok berdampak pada naiknya jumlah pengeluaran konsumsi rumah tangganya dan tidak mengubah pola konsumsi rumah tangganya secara signifikan. Untuk perokok addict yang berada dikelas ekonomi menegah-kebawah atau para mahasiswa misqueen, kenaikan harga rokok berdampak pada pola pengeluaran rumah tangganya/kebutuhannya. Kenaikkan harga rokok dikompensasi oleh penurunan pengeluaran untuk pendidikan, protein, dan susu.

Jadi, memang harus bijaksanan dalam membuat kebijakan mengurangi konsumsi rokok masyarakat dan jumlah perokok dengan menaikkan harga rokok. Menggunakan lebojakan harga akan memiliki opportunity cost masa depan generasi muda.

Rabu, 09 Mei 2018

INEM

Cerpen berjudul 'inem' ini adalah salah satu cerpen terbaik  yang pernah saya baca dan juga yang mengilhami saya untuk menulis artikel yang berjudul "nikah muda" beberapa waktu lalu. 

baiklah selamat membaca!!!!!


Inem (1952)
karya  : Pramoedya Ananta Toer

I

Inem adalah kawanku di antara kawan-kawan perempuanku. Ia berumur delapan tahun – jadi dua tahun lebih tua daripada diriku sendiri. Ia tak berbeda dengan kawan-kawanku yang lain. Dan kalau perbedaan itu ada ialah ini: ia tergolong cantik buat gadis-gadis kecil di kampung kami. Senang orang melihatnya. Ia sopan, tak manja, cekatan dan rajin. Sifat-sifat yang segera memashurkan namanya sampai di kampung sebelah-menyebelah. Inem patut benar jadi temanku.

Dan pada suatu kali sedang memasak air di dapur, ia berkata padaku: “Gus Muk, aku akan dikawinkan”.

“Masa?”, kataku.

“Ya. Seminggu yang lalu sudah datang lamarannya. Emak dan Bapak dan kerabat-kerabat yang lainnya sudah menerima baik lamaran itu”.

“Alangkah senang jadi pengantin!”, seruku riang.

“Alangkah senang. Tentu saja! Nanti aku dibelikan pakaian bagus-bagus. Nanti aku didandani pakaian pengantin, dibungai, dibedaki, disipati dan dicelaki. Alangkah senang! Alangkah senang!”

Dan betullah. Pada suatu sore, datanglah emaknya menemui ibu. Waktu itu Inem dititipkan pada orangtuaku. Pekerjaannya tiap hari membantu masak di dapur dan menemani aku dan adik-adikku bermain.

Penghasilan emak si Inem ialah dari upah membatik. Perempuan-perempuan di kampung kami, apabila tak bekerja di sawah, membatiklah pekerjaannya. Ada yang membatik kain dan ada pula yang membatik ikat kepala. 

Mereka yang miskin membatik ikat kepala, kerana ikat kepala lekas dapat diselesaikan, dan lekas pula orang mendapat upah. Dan penghasilan emak Inem ialah dari membatik ikat kepala itu. 

Mori dan lilin diterimanya dari Toko Ijo, majikannya. Tiap dua lembar yang sudah dibatikinya, ia menerima upah satu setengah sen. Tiap hari rata-rata orang dapat menghasilkan delapan sampai sebelas lembar ikat kepala.

Bapak si Inem seorang pengadu jago. Tiap-tiap hari kerjanya hanya berjudi dengan pertarungan jagonya. Kalau ia kalah, jagonya diambil oleh yang menang. Dan ia pun harus membayar seringgit atau paling sedikit tiga talen. 

Kalau tidak adu jago, ia main kartu dengan tetangga-tetangganya dengan wang pasangan satu sen. Kadang-kadang bapak Inem tak pulang satu atau setengah bulan, mengembara dengan berjalan kaki. Bila sampai di rumah lagi, artinya ia ada membawa wang.

Ibu pernah bilang padaku, bapak si Inem kerjanya yang terutama ialah membegal di tengah hutan jati antara kota kami Blora dan kota pesisir Rembang. Waktu itu aku sedang duduk di kelas satu dan banyak mendengar cerita tentang pembegalan, perampokan, pencurian dan pembunuhan. Oleh cerita-cerita itu dan juga oleh cerita ibu, jadi takutlah aku pada bapak si Inem.

Semua orang tahu belaka, bapak si Inem jadi penjahat. Tapi tak seorang pun berani mengadukan pada polisi. Dan tak seorang pun dapat membuktikan dia seorang penjahat. Karena itu ia tak pernah ditangkap oleh polisi. Lagi pula saudara-saudara emak si Inem hampir semuanya jadi polisi. Malah ada yang jadi agen kelas satu. Dan pak Inem sendiri pun pernah jadi polisi dan dipecat karena menerima suapan.


II

Waktu emak si Inem menemui ibu, Inem sedang memasak air di dapur. Aku turut menemui emaknya. Dan tamu itu, ibu dan aku duduk di bale rendah berwarna merah.

“Ndoro”, kata emak si Inem, “aku datang untuk meminta si Inem”.

“Mengapa si Inem diminta? Bukankah lebih baik kalau dia ada di sini? Engkau tak perlu mengongkosi dan dia di sini bisa belajar masak”.

“Tapi, ndoro, habis panen ini aku bermaksud menikahkan dia”.

“Ha?”, seru ibu kaget. “Dinikahkan?”.

“Ya, ndoro. Dia sudah perawan sekarang – sudah berumur delapan tahun”, kata emak si Inem.

Sekarang ibu tertawa. Dan tamu itu heran melihat ibu tertawa.

“Delapan tahun ‘kan masih kanak-kanak?”, tanya ibu kemudian.

“Kami bukan dari golongan priayi, ndoro. Aku pikir dia sudah ketuaan setahun. Si asih itu mengawinkan anaknya dua tahun lebih muda daripada anakku”.

Ibu mencoba menghalangi maksud perempuan itu. Tetapi emak si Inem punya alasan lain. 

Akhirnya tamu itu berkata lagi:“Aku sudah merasa beruntung kalau ada orang minta. Kalau sekali ini lamaran itu kami tangguhkan, mungkin takkan ada lagi yang meminta si Inem. Dan alangkah malunya punya anak jadi perawan tua. Dan barangkali saja nanti dia bisa membantu meringankan keperluan sehari-hari”.

Ibu tak menyambut. Kemudiannya ditentangnya aku dan berkata: “Ambilkan kotak sirih dan paidon*”. 

Aku pun pergilah mengambil tempat sirih dan tempolong ludah yang terbuat dari kuningan**.

“Dan apa kata laki mbok Inem?”.

“O, bapak si Inem setuju saja. Apalagi si Markaban anak orang kaya – anak satu-satunya. Dia sendiri sekarang sudah mulai turut berdagang sapi di Rembang, di Cepu, di Medang, di Pati, di Ngawen dan juga di Blora sini”, kata mbok Inem.

Ibu nampak gembira mendengar kabar itu. Kegembiraan yang aku tak mengerti mengapa. Kemudian dipanggilnya Inem yang sedang menjerang adir di dapur. Inem datang. Dan ibu bertanya: “Inem, sudah maukah engkau dikawinkan”.

Inem menundukkan kepala. Ia sangat hormat terhadap bunda. Tak pernah satu kali pun kudengar dia membantah. Memang tidak jarang terdapat pada seseorang, bahawa dia tak punya tenaga untuk membantah apa saja yang dikatakan orang padanya.

Waktu itu kulihat Inem berseri-seri. Sering ia kelihatan seperti itu. Berikan apa saja padanya yang akan menyenangkan hatinya barang sedikit, dan ia akan berseri-seri. 

Tapi ia tak biasa mengucapkan terima kasih. Dalam pergaulan keluarga-keluarga orang sederhana di kampung kami, kata terimakasih masih asing. Hanya seri yang memancar di paras jua ucapan itu mendapat jalan.

“Ya, ndoro”, kata Inem perlahan sekali hampir tidak terdengar.

Kemudia mbok Inem dan ibu makan sirih. Ibu sendiri tak suka sering-sering makan sirih. Ini dikerjakannya bila ada tamu perempuan saja. Dan sebentar-sebentar diludahkan dubangnya** ke tempolong kuningan.

“Mbok Inem”, kata ibu waktu Inem sudah kembali ke dapur. “Anak-anak kecil tidak boleh dikawinkan”.

Mbok Inem heran mendengar perkataan ibu itu. Tapi ia tak berkata apa-apa. Juga matanya tak bertanya.

“Aku kawin pada umur delapanbelas”, kata ibu.

Keheranan mbok Inem hilang. Ia tak heran lagi sekarang. Tapi ia tetap tak berkata apa-apa.

“Mbok Inem, kanak-kanak tak boleh dikawinkan”, ibu mengulangi.

Dan mbok Inem heran lagi.

“Nanti anaknya jadi kerdil-kerdil”.

Keheranan mbok Inem hilang lagi.

“Ya, ndoro”, kemudian ia berkata dingin, “emakku kawin pada umur delapan juga”.
Ibu tak peduli dan meneruskan: “Bukan saja tubuhnya kerdil, juga kesehatannya terganggu”.

“Ya, ndoro, tapi keluarga kami tergolong keluarga yang berumur panjang. Emak masih hidup sampai sekarang, sekalipun umurnya sudah lebih dari 59 tahun. Dan nenek pun masih hidup. Kukira umurnya ada 74. Masih gagah dan masih kuat menumbuk jagung”.

Ibu tak juga mau peduli, meneruskan: “Apalagi kalau lakinya kanak-kanak juga”.

“Ya, ndoro, tapi Markaban sudah berumur tujuhbelas tahun”.

“Tujuhbelas tahun! Bapak si Mamuk baru kawin dengan aku waktu dia berumur tigapuluh tahun”.

Mbok Inem berdiam diri. Tak henti-hentinya ia memutar-mutar tembakau yang terselit di antara kedua bibirnya. Sebentar tembakau itu dipindahkan ke kanan, sebentar ke kiri, sebentar lagi digulung-gulungnya untuk penggosok giginya yang hitam arang itu.

Sekarang ibu tak punya alasan lagi untuk menahan-nahan kehendak tamunya. “Kalau sudah jadi kehendak mbok Inem untuk mengawinkannya, ya, moga-moga Inem mendapat lagi yang baik yang dapat menguruskannya. Dan moga-moga dia mendapat jodohnya”.

Mbok Inem pulang dengan masih jua memutar-mutarkan tembakau dalam mulutnya.

“Moga-moga tak ada kecelakaan menimpa diri anak kecil itu”.

“Mengapa ada kecelakaan menimpanya?”, tanyaku.

“Tidak, Muk, tidak apa-apa”. Kemudian bunda merubah arah percakapan. “Kalau keadaan keluarga mereka jadi baik, nanti takkan ada ayam kita yang hilang”.

“Dicurikah ayam-ayam kita, bu?”, tanyaku.

“Tidak, Muk, tidak apa-apa”, ibu berkata perlahan-lahan. “Anak begitu kecil. Baru delapan tahun. Kasihan. Tapi mereka butuh wang. Dan jalan satu-satunya hanya mengawinkan anaknya”.

Limabelas hari sesudah kedatangannya, mbok Inem datang lagi untuk mengambil anaknya. Senang betul kelihatannya waktu si Inem tak membantah dibawa. 

Dan waktu Inem akan meninggalkan rumah kami untuk takkan jadi anggota keluarga buat selama-lamanya, ia berkata padaku di pintu dapur: “Sudah, ya, gus Muk. Inem pulang, gus Muk”, katanya perlahan sekali.

Ia selalu bicara pelan. Dan kepelanan adalah salah satu dari adat untuk pergaulan kota kecil kami buat menyopankan diri. Ia pergi dengan keriangan kanak-kanak yang akan menerima baju baru.

III

Mulai saat itu Inem tak lagi diam di rumah kami. Terasa sekali olehku kehilangan kawanku yang dekat itu. Dan mulai saat itu juga, bukan Inem lagi yang menghantarkan aku ke kamar mandi untuk mencuci kaki di malam hari bila hendak tidur, tapi kakak-angkatku.

Kadang-kadang aku merasai rindu yang amat sangat untuk bertemu dengan Inem. Tak jarang, bila aku berbaring di tempat tidurku, terkenang padanya waktu tangannya ditarik oleh emaknya. Dan kedua orang itu pergi meninggalkan rumah kami. Rumah Inem ada di belakang rumah kami, hanya dibatasi oleh pagar kayu.

Sebulan lamanya ia telah pergi. Aku sering datang ke rumahnya untuk bermain-main dengannya. Dan ibu selalu marah bila tahu aku ada di sana. Katanya selalu: ”Kepandaian apa yang bisa kau dapat dari rumah Inem?”.

Dan selalu aku tak menjawab. Ibu selalu dengan alasan dengan bila memarahi aku. Tiap kata-katanya merupakan dinding tebal yang tak bisa dilalui oleh dalih-dalih. Karena itu lebih baik aku berdiam diri. Dan sebagai yang sering diucapkannya: “Buat apa kau bermain-main dengan dia? Bukankah masih banyak anak-anak yang boleh kau ajak bermain-main? Dan lagi dia perempuan yang sebentar lagi dikawinkan pula”.

Tetapi aku datang saja ke rumahnya dengan mencuri-curi. Sungguh mengherankan kadang-kadang mengapa larangan itu ada dan penting hanya untuk dilanggar. Dan dalam pelanggaran itu ada terasa olehku bahwa apa yang kukerjakan itu menikmatkan. Dan untuk kanak-kanak seperti aku pada waktu itu – oh, alangkah banyak larangan dan pantangan yang ditimpakan kepada kami.

Ya, seakan-akan semua yang ada di dunia ini mengawasi kami, dan tak memperbolehkan sebarang yang kami perbuat dan kehendaki. Mau-tak mau kami kanak-kanak merasa sesungguhnya dunia ini hanya diperuntukkan buat orang-orang dewasa.

IV

Kemudian datanglah hari perkahwinan itu.Lima hari sebelum pernikahan dilangsungkan, keluarga si Inem sibuk memasak-masak juadah dan makanan di dapur. Ini membuat aku lebih kerap lagi datang ke rumahnya.

Sehari sebelum pernikahan, Inem dihiasi bagus-bagus. Ibu menyuruh aku datang ke sana meghantarkan lima kilo beras dan uang setalen buat sumbangan. Dan soreharinya kami kanak-kanak datang merubungnya dan mengagumi. Anak rambut di kening, alis dan cambang Inem dicukur dan dibentuk baik-baik serta ditebalkan dengan celak.

Sanggulnya yang kecil dibesarkan dengan cemara rambut yang dibungai dengan kembang kertas bertangkaikan pegas yang kami namai sunduk mentul. Pakaiannya terbuat dari sutera satin. Kainnya kain mahal buatan Solo. Semua itu disewa dari seorang Tionghoa di pecinan dekat alun-alun. Juga cincin dan gelang yang terbuat dari emas adalah sewaan belaka.

Rumah pun telah diperbagus dengan pajangan daun beringin dan daun kelapa muda. Bendera tigawarna disilang-silangkan di tiap dinding dalam lingkaran daun palma. Juga tiang-tiang dihiasi dengan pita tigawarna.

Ibu sendiri datang dan turut membantu menyelenggarakan. Tetapi tidak lama. Hal yang demikian jarang dilakukan oleh bunda bila tak untuk tetangga yang paling dekat. Belum lagi sejam ia telah pulang lagi. 

Dan di waktu itu juga datang kiriman dari bakal laki Inem; satu pikul juadah, seekor kambing bandot, satu dacin beras, satu pak garam, satu karung kelapa yang telah dikupas sambuknya dan setengah karung gula pasir.

Dan waktu pengantin lelaki datang untuk dipertemukan dengan pengantin perempuan, Inem yang duduk di puadai dituntun orang. Pengantin lelaki sudah sampai di pendopo. Si Inem berjongkok dan menyembah bakal lakinya kemudian mencuci kaki lelaki itu dengan air bunga dari jambang kuningan. 

Kemudian pengantin itu diikat jadi satu dan dituntun dibawa bersama ke puadai. Waktu itu juga terdengar para hadirin bersama-sama: “Anak satu jadi dua. Anak satu jadi dua. Anak satu jadi dua”.

Dan perempuan-perempuan yang menonton berseri-seri seakan-akan mereka sendiri yang bakal mendapat kesenangan.

Waktu itulah kulihat Inem menangis hingga bedaknya rusak, dan airmatanya menjaluri mukanya yang cantik itu. Di rumah aku bertanya pada ibu: “Mengapa pengantin tadi menangis, bu?”.

“Kalau pengantin menangis, ialah karena dia ingat pada nenek-moyang yang sudah lama meninggal. Aewah-arwah mereka turut menghadiri upacara itu. Dan lagi mereka bersenang-hati keturunannya telah menikah dengan selamat”, jawab ibu.

Perkataannya itu tak pernah kufikirkan. Di kemudian hari, tahu juga aku mengapa dia menangis. Inem mau kencing, tapi tak berani bilang.

V

Peralatan itu habis dengan dingin saja. Tak ada lagi tamu yang datang menyumbang. Rumah kembali seperti tadi-tadinya. Dan waktu mindring-mindring datang menagih, pak Inem sudah meninggalkan kota Blora. Mbok Inem dan Inem sendiri sesudah pernikahan itu terus membatik dan membatik – siang dan malam. 

Dan bila orang datang ke rumah mereka pada jam tiga pagi, tak jarang mereka dapat ditemui masih membatik. Dan asap dapur lilin mengepul-ngepul di antara keduanya. Selain itu, seringkali terdengan pertengkaran di rumah itu.

Dan pada suatu kali waktu aku sedang tidur di ranjang dengan bunda, terikan yang keras membangunkan aku: “Tak mau! Tak mau!”.

Masih malam waktu itu. Dan teriakan itu diulang-ulang dibarengi dengan pukulan pada pintu dan berdembam-dembam. Aku tahu, teriakan itu keluar dari mulut Inem. Aku kenal suaranya.

“Bu, kenapa Inem berteriak, bu?”, aku bertanya pada bunda.

“Berkelahi. Moga-moga tak ada kecelakaan menimpa anak diri anak kecil itu”, katanya. Tapi ia tak memberi penerangan apa-apa.

“Mengapa ada kecelakaan menimpanya, bu?”, tanyaku mendesak.

Ibu tak mau memberikan jawabannya. Dan kemudian, bila pekik-raung itu habis, kami tertidur kembali. Dan teriakan seperti itu hampir dapat dipastikan terjadi tiap malam. Teriak, dan teriak. Dan tiap kali aku mendengarnya, aku bertanya pada bunda. Ibu tak mau menjawab dengan semestinya. Kadang ia hanya mengeluh: “Kasihan, anak begitu kecil”.

Dan pada suatu hari datanglah si Inem ke rumah kami. Langsung saja ia mencari bunda. Parasnya pucat tak berdarah. Sebelum berkata apa-apa, ia mengacarai pertemuan itu dengan tangisnya – tangis yang sopan.

“Mengapa menangis, Inem? Engkau berkelahi lagi?”, tanya ibu.

“Ndoro”, kata Inem, “aku harap”, di antara sedu-sedannya, “sudi menerima aku di sini seperti dulu”.

“Bukankah engkau sudah berlaki, Inem?”.

Dan Inem menangis lagi. Dalam tangisnya itu ia berkata: “Aku tak tahan, ndoro”.

“Mengapa, Inem? Tak senangkah engkau pada lakimu”, tanya bunda.

“Ndoro, kasihanilah aku ini. Tiap malam dia mau menggelut saja kerjanya, ndoro”.

“Bukankah engkau bisa bilang. ‘Kang, jangan begitu’?.

“Inem takut, ndoro. Inem takut padanya. Dia begitu besar. Dan kalau menggelut kerasnya bukan main hingga Inem tak bisa bernafas, ndoro. Bukankah ndoro mau menerima aku lagi?”, pintanya terhiba-hiba.

“Kalau engkau tak punya laki, Inem, tentu saja engkau kuterima. Tapi engkau punya laki...”, kata bunda.

Dan Inem menangis lagi mendengar perkataan ibu itu. “Ndoro, Inem tak mau punya laki”.

“Walau engkau tak mau, tapi engkau tetap punya, Inem. Barangkali di kemudian hari lakimu jadi baik, dan engkau berdua bisa hidup senang. Bukankah engkau dulu mau dikawinkan?”, kata ibu.

“Ya, ndoro...tapi, tapi...”.

“Inem, walau bagaimanapun, seorang perempuan harus berbakti pada suaminya. Bila engkau tak berbakti pada lakimu, engkau akan kena sumpah nenek-moyangmu”, kata ibu.
Tambah keras tangis Inem, hingga tak bisa berkata apa-apa.

“Sekarang, Inem, berjanjilah engkau. Engkau akan selalu menyediakan makan untuk lakimu. Kalau engkau menganggur, engkau harus berdoa pada Tuhan agar dia selamat selalu. Engkau harus berjanji akan mencuci pakaiannya, dan engkau harus memijitnya kalau dia capek dari mencari rejeki. Engkau harus mengerikinya kalau dia masuk angin”.

Inem juga tidak menjawab. Hanya airmatanya terus jatuh.

“Nah, pulanglah pada lakimu. Engkau – kalau engkau meninggalkan lakimu begitu saja, takkan baik jadinya dengan dirimu di kemudian hari dan sekarang”, kata ibu lagi.

“Ya, ndoro”, katanya patuh.

Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan pulang.

“Kasihan, begitu kecil”, kata bunda.

“Bu, pernah ibu digelut ayah?”, tanyaku.

Hati-hati ibu mengamat-amati mataku. Kemudian pengamat-amatannya hilang. Ia tersenyum.

“Tidak”, katanya, “ayahmu adalah orang yang paling baik di seluruh dunia, Muk”.
Kemudian ibu pergi ke dapur mengambil pacul dan mencangkul di ladang bersama daku.

VI

Satu tahun pun berlalulah dengan tiada terasa. Pada suatu kali datang pula si Inem. Satu tahun telah membuat dia jauh lebih besar daripada sebelumnya. Nampak betul dia sudah jadi dewasa walaupun baru berumur sembilan tahun. Seperti biasa, langsung dia menemui ibu, duduk di lantai sambil menundukkan kepala. Berkata: “Ndoro, sekarang Inem sudah tak punya laki”.

“Apa?”.

“Inem sekarang sudah tak berlaki lagi”.

“Engkau sudah janda?”, ibu bertanya.

“Ya, ndoro”.

“Mengapa engkau bercerai dengannya?”.

Ia tak menjawab.

“Engkau tak berbakti padanya?”.

“Inem pikir, Inem selalu berbakti padanya, ndoro”.

“Engkau pijiti dia kalau pulang kelelahan mencari rejeki?, tanya bunda menyelidiki.
“Ya, ndoro, semua pesan sudah Inem jalankan”.

“Mengapa bercerai juga?”.

“Ndoro, dia sering memukuli Inem”.

“Memukuli? Anak begini kecil dipukuli?”.

“Inem sudah cukup berbakti, ndoro. Dan kalau dia memukuli, dan Inem kesakitan, berbakti jugakah itu, ndoro?”, tanyanya betul-betul minta keterangan.

Bunda berdiam diri. Matanya menyelidiki Inem.

“Dipukuli”, bisik bunda kemudian.

“Ya, ndoro – dipukuli, seperti emak dan bapak memukuli aku”.

“Barangkali engkau memang kurang berbakti padanya. Seorang suami takkan sampai hati memukuli bininya bila dia sungguh-sungguh berbakti”.

Inem tak menjawab. Dirubahnya arah percakapan: “Sudikah ndoro menerima Inem kembali?”.

Tak bunda berbimbang-bimbang dalam menjawabnya. Berkata tegas: “Inem, engkau sekarang janda. Di sini banyak anak lelaki yang sudah besar-besar. Bukankah tidak baik dipandang mata orang lain?”.

“Karena Inemkah itu, ndoro?”.

“Bukan, Inem, karena kesopananlah itu”.

“Kesopanan, ndoro? Karena kesopanan Inem tidak boleh di sini?”.

“Ya, begitulah, Inem”.

VII

Janda itu tak berkata apa-apa lagi. Ia tinggal duduk di lantai. Dan nampaknya, ia tak ada maksud untuk meninggalkan tempat duduknya. Ibu mendekati dan menepuk-nepuk bahunya – menghibur: “Sekarang, Inem – lebih baik engkau bantu orangtuamu mencari rejeki. Sungguh sayang, aku tak bisa menerima engkau lagi”. 

Dua tetes airmata membutir di sudut-sudut mata perempuan kecil itu. Ia berdiri. Lesu ia melangkahkan kakinya meninggalkan rumah kami menuju ke rumah orangtuanya. Dan sejak itu ia jarang nampak keluar dari rumah.

Dan kemudian, janda yang berumur sembilan tahun itu – karena hanya membebani rumahtangga orangtuanya – boleh dipukuli oleh siapa saja yang suka: emaknya, adiknya yang lelaki, pamannya, tetangganya, bibinya. Namun Inem tak pernah datang lagi ke rumah kami.

Sering terdengar teriak kesakitannya. Bila ia meraung, kututup kupingku dengan kedua belah tangan. Dan ibu pun tetap memegang kesopanan rumahtangganya.(1)

---------------------------------- 
* paidon, tempolong tempat ludah sirih.
**dubang, ludah sirih yang merah.

Senin, 30 Januari 2017

Manusia Makhluk Simbolik ?

Manusia tidak seperti hewan, begitulah katanya. Manusia dan hewan adalah makhluk hidup, tetapi manusia diberkahi dengan kemampuan berpikir, sedangkan hewan tidak. Dalam buku "Falsafah Hidup" Buya Hamka, Diriwayatkan bhw Adam as. diberi 3 hal untuk dipilihnya satu di antaranya, yaitu akal, rasa malu, dan agama. lalu, Manusia pertama itu memilih akal, akan tetapi begitu ia mengambilnya, rasa malu dan agama enggan berpisah sehingga yang berakal pasti beragama dan memiliki rasa malu. Oleh sebab itu, setiap manusia dapat berinteraksi dengan hal-hal di sekelilingnya dengan menggunakan aturan seperti saat seseorang melakukan kesalahan kepada orang lain, dia harus meminta maaf kepada orang tersebut. Akan tetapi, hewan tidak perlu meminta maaf/malu kepada hewan lainnya ketika melakukan kesalahan, karena hewan tidak memiliki akal untuk berpikir bahwa mereka harus berinteraksi dengan hewan lainnya dengan menggunakan aturan. 
 Dalam teori antropologi juga mengatakan bahwa manusia itu makhluk simbolik yang pandai "menunda" (delay), juga dalam buku "An essay on man" seorang filsuf jerman beraliran kantian mengatakan bahwa yang membedakan manusia dengan binatang yakni manusia adalah makhluk simbolik. yah maksudnya, kalau manusia disodorkan makanan apalagi dikala lapar, manusia lebih memilki daya "menunda" dari pada binatang, kenapa ? karena manusia punya kekuatan akal/rasio, mikir dulu. Tapi akhir-akhir ini Faktor menunda secara simbolik ini hilang dalam diri manusia menghadapi informasi di era digital, informasi langsung dilahap, gak peduli kalo itu hoax.
Teori postmodern suka nyinyir atas teori kantian bahwa manusia makhluk simbolik yang menunda itu mengatakan "lah apa aja didepannya langsung dilahap kok!", Teori postmodern menakar hukum entropi bahwa manusia makhluk yang tidak bisa dinilai rasional karena kenyataannya bisa mendadak bertingkah inkonsistensi. 
Binatang kalau melihat makanan lezat didepannya masih melihat kiri-kanan, memastikan ada saingan atau tidak, eh manusia langsung nyamplok, boooooooo. Ada binatang yang melihat makanan tidak langsung dilahap tapi disimpan dulu secukupnya untuk nanti kalau sudah laper tapi manusia menyerbu dan menyimpan demi monopoli.

Lalu, Manusia yang melahap informasi betapapun hoaxnya, apakah lebih rasional dari pada binatang yang melihat makanan masih perlu menengok kiri-kanan dulu?




Sekian, 

Zow


Kamis, 12 Januari 2017

Pancasila dalam era globalisasi


Globalisasi sudah melanda di seluruh dunia, salah satunya dengan adanya bantuan kemajuan teknologi informasi, teknologi komunikasi dan teknologi transportasi menjadikan dunia semakin sempit, globalisasi juga berisikan persaingan bebas dan keunggulan, bangsa yang tidak unggul akan tergilas oleeh bangsa-bangsa yang unggul. Beraneka ragam pengaruh perkembangan lingkungan strategis internasional dan nasional berdampak pada aspek-aspek kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan, kependudukan,  Letak geograafis dan sumber kekayaan alam. Bangsa yang menutup diri dari perkembangan internasional pastilah ketinggalan dalam berbagai hal seperti, kemiskinan belum tertuntaskan, pengangguran bertambah, tenaga kerja bermasalah, mutu pendidikan dipertanyakan, lapangan pekerjaan menjadi terbatas, narkoba merajalela, penderita HIV/AIDS terus betambah, kenakalan remaja tak tebendung, kekerasan terjadi disana-sini,dan sebagainya.
Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa dan Dasar Negaa Republik Indonesia yang kokoh tidak akan menutup diri dari perkembangan internasional. Membuka diri terhadap globalisasi bukan berarti kita melepaskan jati diri sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur pancasila yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Serap nilai-nilai baru untuk memperkaya hasanah ilmu pengetahuan dan wawasan kita, tapi jangan sampai mengganti 100% nilai-nilai luhur pancasila (moral pancasila) yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur agama dengan nilai-nilai baru dari bangsa lain. Bangsa yang memiliki kepribadian kuat berjati diri dan kepribadian pancasila mampu mempertahakan jati dirinya. Jati diri dan kepribadian bangsa, kepribadian masyarakat dibangun dari jati diri dan keribadian keluarga, jati diri dan kepribadian keluarga dibangun dari jati diri dan kepribadian individu. Oleh karena itu mulailah membangun jati diri dan kepribadian dari diri sendiri, dan terus menenrus membiasakan membangun jati diri yang kuat dan kepribadian yang kuat. Dalam membangun jati diri dan kepribadian terpuji biasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.
Dalam era globalisasi dan kondisi bangsa skarang ini ada suatu nilai perekat persatuan dan kesatuan demi utuhnya NKRI yaitu nilai jati diri bangsa yaitu nilai-nilai pancasila. Pancasila yang sudah terbukti kesaktiannya yang mampu mengatasi masalah-masalah bangsa dalam situasi penting dan genting yang tercatat dalam sejarah seperti pemberontakan-pemberontakan dari berbagai elemen bangsa yang pada akhirnya dengan semangat nasionalisme yang melahirkan para pejuang (patriotisme) yang berpegang teguh pada nilai-nilai pancasila yang luhur semuanya dapat diatasi. Walauu negara kita didiami oleh berbagai etnis, agama, budaya , adat-istiadat, kerarifan lokal yang berbeda, namun perbedaan adalah suatu ke-bhinnekaan, ke-pluralistikan, kemajemukan tetap dalam satu yaitu bertumpah darah yang satu tanah air indonesia, berbangsa satu bangsa indonesia dan menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa indonesia. Inilah sumpah pemuda yan diprokamirkan oleh pemuda-pemuda pejuang bangsa, nasionalisme, dan patriotism pada tangga 28 oktober 1928.
Dalam mengelola kemajemukkan masyarakat, indonesia juga memiliki pengalaman sejarah yang cukup panjang bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Negara barat relatif masih baru mewacanakan hal ini, sebelum kenal  apa yang disebut dengan Multikulturalisme di barat, jauh sebelum itu atau berabad-abad yang lalu bangsa indonesia sudah memiliki falsafah “Bhinneka tunggal ika”  yang ditulis oleh mpu tantular pada abad ke 14 di masa kerajaan majapahit. Dalam kitab tersebut empu tantular menulis “Rwaneka dhatu winuwus buddha wisma,bhinneka rakwa ring apan kena parwanosen, mangka ng jinatwa kalawan swatatwa tunggal, bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”.  dan  founding father (Pendiri bangsa) indonesia yang sebagian besar beragama islam cukup toleran untuk menerima warisan mpu tantular yang seorang sastrawan buddha. Sikap toleran ini merupakan watak dasar suku-suku bangsa di indonesia yang telah mengenal beragam agama, berlapis-lapis kepercayaan dan tradisi, jauh sebelum islam datang ke nusantara dan perbedaan tersebut dijadikan para leluhir sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar. Sejarah juga telah membuktikan bahwa semakin banyak suatu bangsa menerima warisan kemajemukkan, maka semakin toleran bagsa tersebut terhadap kehadiran “yang lain”.
 Globalisasi tidak mungkin dihindari dan mustahil bangsa indonesia dapat lari dari pengaruh globalisasi, Globalisasi tidak perlu ditakutkan , globalisasi tidak perlu disalahkan, sikapi globalisasi dengan positive thinking (berpikir positif) , tidak menangis dan tidak menyerah pada globalisasi, tegar dan segar, berbuat dan  terus berbuat, kreatif, inovatif dan produktif untuk negeri ini yang pernah disegani oleh bangsa-bangsa dunia supaya mampu bersaing dan bersanding dengan bangsa bangsa lain. Bangsa indonesia memiliki jati diri yang kuat yaitu pancasila sakti yang mengandung nilai-nilai moral leluhur dan tetap sakti tak terkalahkan oleh ideologi lain. Globalisasi yang bercirikan persaingan/kompetitif dan keunggulan dengan memiliki keunggulan manusia menjadi lebih maju. Informasi menjadi bermakna kalau dikemas oleh lembaga atau orang-orang berkualitas dan lembaga itu berguna bagi umat atau masyarakat luas kalau dikerumuni oleh informasi yang berkualitas. Televisi sebagai media komunikasi informasi hendaknya mampu menyampaikan informasi yang benar, misalnya
1.      Informasi yang disampaikan sesuai dengan kenyataan/realita
2.      Informasi yang disampaikan sesuai dengan kaedah ajaran yang benar
3.      Informasi yang disampaikan mengandung dam mengajarkan nilai-nilai luhur untuk kehidupan yang lebih bermutu
Bukan hanya Tugas pemuka agama atau organisasi-organisasi tertentu, tapi itu juga tugas kita semua untuk turun tangan  mempersiapkan informasi yang berkualitas pada masa yang akan datang apabila ingin menjadi bangsa yang maju yang berlandaskan pada moral bangsa yaitu pancasila. Bagaima cara mengemas informasi, inilah masalah yang sedang dihadapi dalam era globalisasi sekarang ini.
            Media massa harus bisa menjernihkan pandangan hidup (ideologi) bangsa indonesia, punya tanggung jawab terhadap perkembangan moral generasi yang akan datang. Generasi sekarang baru merasa puas kalau memberi pancing kepada generasi yang akan datang, bukan memberi ikannya atau generasi sekarang baru bisa menyatakan puas kalau menanam pohon yang berbuah dari pada memakan buah dari pohon peninggalan nenek moyangnya. Persoalannya sekarang bagaimana menanam pohon-pohon itu, di mana lahannya, dari mana bibit unggulnya, dan dari mana biayanya. Dalam di bawah bendera revolusi  pak soekarno berpesan bahwa “ walaupun indonesia sudah merdeka tetap harus waspada, waspada, dan terus waspada terutama dala era global, era persaingan bebas yang dapat memindahkan/mentransfer nilai-nilai nasionalism, patriotism, kecintaan terhadap tanah air dan kecintaan terhadap bangsa ke dalam arus globalisasi.
            Perbedaan manusia dan makhluk-makhluk allah lainnya seperti malaikat, iblis dan syaitan adalah terletak pada kekhalifahan manusia. Khilafah di bumi adalah anugerah tertinggi Allah Swt kepada manusia. Anugerah sebagai khalifah ini pula yang menimbulkan kecemburuan syaitan kepada manusia, dimana Allah memerintahkan syaitan untuk tunduk kepada manusia. Syaitan membangkang perintah Allah Swt, oleh karena itu dalam menjalankan kekhalifahannya manusia di mana saja, kapan saja dan siapa saja untuk berbuat kebajikan selalu mendapatkan perlawanan dari syaitan. Reaita perlawanan itu tampak pada perilaku manusia yang jelek-jelek dan yang tidak berbudi, lebih-lebih lagi dalam era globalisasi yang dahsyat yang penuh dengan informasi-informasi yang menggoda yang menjanjikan kesenangan terutama oleh syaitan. Perilaku yang jelek-jelek, jahat, yang membuat orang lain susah, tidak berbudi adalah perilaku dan ucapan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral pancasila.
            Seyogyanya disadari bahwa informasi merupakan sesuatu yang mahal. Barang siapa yang menguasai informasi maka ia menguasai dunia, oleh karena itu manusia sejatinya mengemas informasi supaya berkualitas. Lebih-lebih jangan sampai informasi itu menjerumuskan umat manusia untuk menjadi pengikut syaitan. Apapun derajat manusia, kluster manusia, apapun pendidikan manusia, kaya atau miskin tidak luput dari godaan syaitan supaya menjadi tim suksesnya syaitan dan pasukannya memasuki neraka, kecuali orang-orang yang mendapat perlindungan dari Allah Swt. Salah satu di antaranya adalah orang-orang yang memiliki kepribadian yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur agama yang merupakan jiwa (roh) dari nilai-nilai pancasila. Sekarang ini, apalagi dalam era globalisasi yang sudah memperlihatkan tanda-tanda pengikisan ahlak mulia, moral, karakter yang sangat penting dibangun adalah kepribadian bangsa yang memiliki akhlak mulia, bermoral, dan berkarakter. Apalagi tidak dibangun, maka bangsa ini akan menerus berada dalam kondisi sekarang ini. Oleh kareena itu, setiap insan indonesia yang menyadari kondisi bangsa ini, hendaklah berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa dan negara, bagi keselamatan umat manusia pada umumnya, tidak ada istilah terlambat untuk mencintai bangsa dan negara ini, banyak cara untuk mencintai bangsa, banyak cara untuk berbakti kepada bangsa dan negara ini, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. marilah, jangan hanya diam, jangan hanya berpangku tangan tp ayo turun tangan  bersama-sama kita benahi, kita berbuat untuk indonesia yang lebih baik lagi.
Camkanlah kata-kata mutiara ini :
“ jangan tanya apa yang diberikan oleh negara kepadamu, tetapi tanyalah apa yang dapat kamu berikan kepada negaramu” (John F. Kannedy).
“bahwa bangsa-bangsa yang maju dan jaya tidak semata-mata disebabkan oleh kompetensi, teknologi canggih ataupun kekayaan alamnya, tetapi yang utama dan terutama karena dorongan semangat dan karakternya, contohnya kita bisa lihat apa yang terjadi dengan bangsa jepang, china, dan korea. Bahkan kini vietnam , bangsa yang lebih miskin dan terpuruk dari indonesia itu sudah siap menjadi negara yang maju” – (H. Soemarsono soeadarsono, dalam jurnal negarawan, 2011:59).
            Globalisasi telah menciptakan sebuah perubahan besar dalam semua lapangan kehidupan baik kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan, kependudukan, geografi, dan sumber kekayaan alam indonesia. Globalisasi yang bercirikan persaingan bebas dan keunggulan merubah pola pikir masyarakat terutama masyarakat indonesia. Bagaimana mensejahterakan rakyat melalui sumber kekayaan alam indonesia yang melimpah ruah jangan sampai terjadi ibarat kata pepatah “seperti ayam mati kelaparan di lumbung padi” atau “ ibarat itik mati kehausan berenang di air”. Tidak sepantasnya terjadi banyak rakyat miskin di tengah-tengah kekayaan alam negara yang berlimpah ruah. Rakyat miskin mengais sampah, menjadi kuli untuk sesuap nasi pagi dan sore semetara kemewahan, kesenangan, kekayaan yang dipamerkan disekeliling mereka. rakyat tersayat hatinya, pedih seperti teriris sembilu,  pasrah dengan kondisi apa adanya.
            Tidak ada kata terlambat untuk mengangkat nasib rakyat, kesejahteraan rakyat. Kita harus belajar dari negara-negara yang tidak mempunyai sumber kekayaan alam tapi rakyatnya sejahtera seperti korea, jepang, singapura yang maju dan sejahtera. Apa kuncinya ?
1.      Semangat kebangsaan (nasionalisme) yang melahirkan cinta tanah airdan bangsa yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara ukan kepentingan pribadi, golongan, kelompok dan partai.
2.      Leadership yang kuat untuk maju dan visinya untuk membangun kesejahteraan rakyat.
3.      Masyarakat mempunyai kemauan yang kuat  (optimisme) untuk maju dan sejahtera yang didorong oleh kepemimpinan yang pro rakyat.
4.       Sumber kekayaan alam yang berlimpah-limpah yang dimanfaatkan sepenuhnya untuk membangun kesejahteraan rakyat.
5.      Kemandirian, percaya kepada kemampuan bangsa sendiri yang didukung oleh sumber kekayaan alam dan jumlah penduduk yang besar dan berkualitas.

Rabu, 20 Januari 2016

Nikah Muda dan Mitos "Banyak anak ,Banyak Rezeki"

Belinda Hewitt, sosiolog dari University of Queensland, "Nikah dibawah usia 25 tahun tingkatkan resiko cerai 4x lipat."

Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007: Remaja memasuki masa perkawinan rata-rata pada usia 19,8 tahun.

19 taon nikah? Yaelah, kuliah aja baru masuk, duit masih minta ortu, berantem sm pasangan galau, pake nikah segala.
Secara hukum, wanita boleh nikah usia 16 thn, pria 19 thn. Dengan kata lain, di Indonesia masih sekolah udah boleh nikah. Gimana gak berantakan masyarakat kita kalo negaranya sendiri mengizinkan anak usia sekolah untuk nikah? This is crazy. BKKBN anjurkan usia nikah Pria 25 thn, wanita 21 thn biar dewasa dulu katanya, tapi menurut saya itu masih terlalu muda.


Kenapa orang Indonesia demen nikah muda? Ini masalah kompleks yg berhub sama poleksosbud, tapi saya coba jelasin dikit.
Kenapa Indonesia demen nikah muda? 
1) Faktor sejarah dan geografis. Sebagai negara agraris, dulu orang kerjaannya bertani.
Sebagai keluarga petani, nikah muda dan punya anak cepet-cepet itu menguntungkan. Karena anak adalah tenaga kerja murah. Dari situ juga muncul mitos "banyak anak banyak rezeki", iya karena banyak anak berarti banyak yg bantuin di sawah. Kebiasaan ini masih mengakar kuat, terutama di kota-kota kecil dan pedesaan (di mana mayoritas penduduk Indonesia berada).


2) Faktor ekonomi rendah. Masyarakat Indonesia 51% ada di bawah garis kemiskinan (2 USD/hari), ini berpengaruh banget.
Anak cewek begitu udah usia kawin (16 tahun) langsung dikawinin, biar keluar dr rumah dan tidak membebani keluarga. Gak sedikit keluarga yg melihat anak cewek sebagai asset untuk memperbaiki ekonomi keluarga, dikawinin sama cowok tajir. Karena miskin juga, orang pengen cepet nikah biar ada tambahan pemasukan dari pasangannya,Patungan menghidupi keluarga.


3) Faktor agama. Anggapan bahwa "nikah itu ibadah", "menghindari zinah", buat orang jadi pengen cepet-cepet nikah.
"yang jelas baik karena menjauhi zina ", ya siapa suruh mikirnya selangkangan mulu ?
atau, "bukan maslah selangkangan, tapi itu manusiawi" ,manusiawi bisa mengontrol selangkangan.
Gak salah memang, tapi rasanya kurang tepat. Cara menghindari zinah ya dengan TIDAK BERZINAH, bukan dengan nikah muda.


4) Mitos-mitos yg beredar, seperti: kasian anak kalo nikah tua, bahagiain ortu dengan kasih cucu, lebih diberkati dll.
Semua faktor-faktor tersebut beredar luas dan menjadi sebuah kesadaran kolektif masyarakat Indonesia, menciptakan kultur. Akibatnya, meski kamu gak punya sawah, gak miskin, gak religius, tetep pengen nikah muda, karena sekitarmu begitu semua. Saya pernah twit: kalo kamu pengen pake nilai tradisional, maka kamu harus melakukannya dalam kondisi tradisional juga.


Saya gak menganjurkan nikah muda. Meski tentu saja ada yg bisa berhasil, tapi itu bukan patokan untuk dijadikan contoh.
Kenapa jangan nikah muda? 


1) Finansial. Meski bukan yg utama, tapi ini faktor pertama yg dipertimbangkan ketika nikah.
Kalo duit untuk diri sendiri aja masih kekurangan, gak bisa nabung. Rasanya gak bijaksana untuk mikirin nikah.Belum lagi kalo punya anak. Kamu melahirkan anak ke dunia hanya untuk diberi perawatan dan pendidikan yg seadanya? Kalo belum bisa memberikan perawatan dan pendidikan yg terbaik untuk anak, tapi ngotot pengen punya anak, kamu egois!


2) Kedewasaan emosional.
Kalo pacaran aja berantem mulu dan suka putus nyambung, ya kan tolol kalo maksain nikah.
Penyebab no.1 perceraian di Indonesia adalah ketidakharmonisan alias BERANTEM MELULU. Penyebab no. 2 adalah finansial.


Penyebab utama perceraian itu bukan selingkuh, bukan KDRT, tapi pertengkaran. Ketidakmampuan pasangan mengatasi konflik.
80% perceraian di Indonesia terjadi pada pasangan usia perkawinan dibawah 5 tahun. Istilahnya, masih PENGANTIN BARU. Dengan kata lain, perceraian disebabkan oleh orang yg belum bisa ngontrol emosi dan mengatasi konflik tapi sok nikah. Jadi kalo kamu masih suka emosian, cemburuan, ngambek, ngamuk, maki-maki, posesif, dsb, jangan mikir nikah dulu deh..
Saya kasih saran kalo nikah tunggu punya finansial cukup dan kedewasaan emosional dulu, apakah itu doktrin gak bener? Kalo ada yg kasih saran supaya nikah muda cepet-cepet tanpa peduli faktor emosional dan material, itu doktrin yg benar?
Saran saya untuk menunda pernikahan sampe siap secara materi dan emosional, justru supaya pernikahan kamu langgeng. 
Kadang suka takjub sendiri melihat kehebatan orang menyalahartikan tulisan/twit saya dan main jeplak aja kayak bajaj. kalo setiap orang punya pandangan sendiri-sendiri, lalu kenapa pandangan saya dibilang salah? hmmmmmm

Agak lucu kalo kamu yg pintar dan berpendidikan kok malah MENYETUJUI kalo orang kawin muda dan punya banyak anak. Ini bukan soal keyakinan atau apa, ini soal masalah yg nyata yg ada di sekitar kita. Kalo emang intelek, mustinya ngerti. nih baca[BERITA] Program Keluarga Berencana Gagal Dalam 10 Tahun Belakangan ~> http://t.co/jrHTXcIsyN .
Ketika saya menyajikan masalah, bukannya melihat secara realistis tapi kamu malah bilang bahwa itu BUKAN MASALAH. Kacau..

Kenapa kurang pendidikan? Karena miskin tapi harus sekolahin 4 anak!
Orang miskin kawin muda punya anak banyak > gak ada biaya sekolah > lulus SMP kerja jadi buruh kasar > ulangi dari awal,siklus/lingkaran setan (vicious circle). Ketika kebanyakan penduduk negara cuma lulus SMP/SMA akan timbul banyak masalah, seperti Pengangguran, kriminalitas, dsb. Ini udah diajarin dulu pas belajar Sosiologi di SMA. Tapi lucunya, kamu yg anak kuliahan pun gak pernah berpikir ke sana. Kalo kamu yg intelek aja mikirnya GAK APA-APA kawin dan punya anak tanpa finansial yg cukup, ya pantes negara ini kacrut :). 
Oke,langsung pada intinya
Intinya: pola pikir masyarakat untuk kawin muda dan punya banyak anak itu salah satu penyebab masalah sosial di Indonesia. Makanya kamu harus ubah pola pikir, supaya jangan sampe kena masalah, baik ke diri kamu sendiri, maupun lingkungan. Di indonesia yg rakyatnya pada napsu nikah dan beranak pinak kayak kelinci. Di negara maju, udah pada males. 
Kenapa orang masih pada ngotot nikah muda dan punya banyak anak tanpa persiapan? Karena gak ada edukasi ttg hal itu. Gak ada yg ngasi tau resiko nikah muda dan punya anak tanpa persiapan itu sangat besar, dan bisa fatal seumur hidup. Semua berlomba-lomba nikah dengan pola pikir "nikah itu ibadah dan buka pintu rezeki" tanpa perhitungkan kendala riilnya.
Prinsip "nikah itu ibadah" ya jelas sangat bagus, tapi kalo nikah tanpa persiapan dan perhitungan ya berantakan jadinya. Hanya karena percaya Tuhan melindungi, bukan berarti berani nekad terjun dari lantai 47 kan? Otak juga perlu dipake. Religius memang bagus, tapi harus diimbangi dengan realistis. Itu tugas saya, menyajikan realita supaya jadi seimbang.


Udah ah, saya jadi kayak orang lagi ngasih penyuluhan KB :D 
thanks, semoga tercerahkan